HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN SAWI
II.
WAKTU DAN LOKASI
PRAKTIKUM
2.1.
Lokasi Dan Tempat
Praktek lapang
yang berbentuk percobaan penanaman
tanaman sawi yang akan diamati serangga dan penyakit penting yang terdapat
pada tanaman sawi
yang dilaksanakan di kawasan Desa Tonrong’e, kel wiringpallennae, Kec.Tempe kab. wajo
III. SERANGGA DAN PENYAKIT PENTING TANAMAN SAWI
3.1.
Jenis
serangga dan penyakit penting pada setiap fase pertumbuhan tanaman sawi
Usaha
budidaya tanaman sawi banyak mengalami kegagalan terutama karena serangan hama.
Hama tanaman sawi sering menyerang tanaman yang masih di lahan atau menyerang
biji yang telah disimpan di gudang. Berikut ini adalah beberapa hama penting
yang sering menyerang tanaman sawi :
3.1.1.
Serangga
1.
Ulat
tritip/Ulat perusak daun (Plutella
xylostella)
Klasifikasi P. xylostella L. Sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Plutellidae
Genus : Plutella
Spesies : Plutella xylostella L.
P. xylostella L. tergolong dalam ordo Lepidoptera, famili Plutellidae, P. Xylostella L. mempunyai nama
lain yaitu Plutella maculipennis, atau disebut juga ulat tritip,
tanaman inangnya, antara lain kubis, lobak, sawi, kolhrabi, kubis bunga, kubis
kale, kubis tunas dan tanaman lain yang termasuk keluarga Cruciferae.
![]() |
Gambar 1. Ulat tritip/Ulat perusak daun (P. Xylostella L.)
Dalam perkembangannya P. xylostella mengalami metamorfosis sempurna (Holometabola), yaitu stadium telur, larva, pupa, imago, lebih jelasnya :
Bentuk telur bulat panjang, lebar 0,26 mm dan panjang 0,49 mm. Telurnya
kecil, putih kekuningan diletakkan pada permukaan bawah daun dalam kelompok 10-20
butir atau 3-4 butir.
Ulat yang baru menetas berwarna
hijau pucat, sedangkan yang telah besar warnanya lebih tua dengan kepala
lebih pucat . Larva Plutella xylostella mudah dibedakan dengan larva
serangga hama lainnya karena larva ini tidak mempunyai garis membujur pada
tubuhnya, larva terdiri atas empat instar.
Setelah cukup tua ulat mulai
berkepompong, sarang kepompong dibuat dari sejenis benang sutera yang berwarna abu-abu
putih pada bagian bawah permukaan daun. Pembentukan sarang kepompong mula-mula
dibuat dari dasar, kemudian sisi depan dan tutupnya. Pada ujung masih ada lubang kecil untuk pernapasan.
Imagonya berupa
ngengat kecil berwarna coklat kelabu. Pada sayap
depan terdapat tanda tiga berlian yang berupa gelombang (undulasi). Warna
berlian pada ngengat betina lebih gelap dibandingkan dengan ngengat jantan.
Lamanya siklus (daur hidup) ± 21 hari, ngengatnya aktif pada senja dan malam
hari.
Larva
P. xylostella atau yang juga dikenal dengan nama ulat tritip atau ulat
daun kubis (Lepidoptera : Plutellidae) adalah hama utama pada tanaman
Brassicaceae, terutama kubis, sawi dan caisin di Indonesia (Herlinda, et al.,
2004). P. Xylostella adalah hama kosmopolit yang tersebar di dataran
tinggi dan rendah.
Pengendalian
ulat kubis dapat dilakukan dengan cara mekanis, kimiawi dengan insektisida
kimia sintetik selektif maupun insektisida nabati, pola bercocok tanam
(tumpangsari, rotasi, irigasi, penanaman yang bersih), penggunaan tanaman
tahan, pemakaian feromon, pengendalian hayati menggunakan predator, parasitoid
(misalnya dengan Diadegma semiclausum Helen, Cotesia plutellae
Kurdj., dll.), patogen (misalnya pemakaian bakteri B. thuringiensis,
jamur Beauveria bassiana, dsb.) serta aplikasi program PHT.
Aplikasi PHT Praktis:

Musim tanam lebih baik untuk menanam kubis dan brasika lain pada musim hujan, karena populasi hama tersebut dapat dihambat oleh curah hujan irigasi. Apabila tersedia dapat digunakan irigasi sprinkle untuk mengurangi populasi ulat daun brasika, apabila pengairan demikian dilaksanakan pada petang hari, dapat membatasi aktivitas ngengat.

Sebaiknya tidak melakukan penanaman berkali-kali pada
areal sama, karena tanaman yang lebih tua dapat menjadi inokulum bagi tanaman
baru. Apabila terpaksa menanam beberapa kali pada areal sama, tanaman muda
ditanam pada arah angin yang berlawanan agar ngengat susah terbang menuju ke
tanaman muda.

Tempat pembibitan harus jauh dari areal tanaman yang
sudah tumbuh besar. Sebaiknya pesemaian/bibit harus bebas dari hama ini sebelum
transplanting ke lapangan. Dalam beberapa kasus, serangan ulat daun kubis di
lapangan diawali dari pesemaian yang terinfestasi dengan hama tersebut.

Tanaman brasika tertentu seperti caisin lebih peka dapat
ditanam sebagai border untuk dijadikan tanaman perangkap, dengan maksud agar
hama ulat daun kubis terfokus pada tanaman perangkap.

Penanaman brasika secara
tumpang sari bersamaan dengan tanaman yang tidak disukai hama ulat daun kubis
dapat mengurangi serangannya. Misalnya tumpang sari kbis kubis dengan tanaman
tomat/bawang daun.

Selama menanam brasika petani
perlu melakukan pemantauan/monitoring hama dengan melakukan pengamatan
mingguan. Apabila hama mencapai 1 ulat/10 tanaman (Ambang Ekonomi = AE) atau
lebih, maka dapat dilakukan dengan menyemprot tanaman menggunakan insektisida
kimia selektif atau bioinsektisida, untuk menekan agar hama kembali berada di
bawah AE yang tidak merugikan secara ekonomi.

Hama tersebut memiliki musuh alami berupa predator
(Paederus sp., Harpalus sp.), parasitoid (Diadegma semiclausum, Cotesia
plutellae), dan patogen (Bacillus thuringiensis, Beauveria bassiana) yang bila
diaplikasikan dapat menekan populasi dan serangannya.

Cara ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan hama yang
bersangkutan, memasukkan ke dalam kantung plastic, dan memusnahkannya. Namun
untuk areal luas perlu pertimbangan tenaga dan waktu.

Aplikasi ini dilaksanakan setelah hama tersebut
mencapai atau melewati ambang ekonomi, dengan memilih insektisida kimia
selektif yang efektif tetapi mudah terurai, atau penggunaan insektisida
biologi.
Klasifikasi hama ini adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Subfamili : Pyraustinae
![]() |
Telurnya diletakkan di
balik daun secara berkelompok, jumlah tiap kelompok sekitar 11 - 18, dan setiap
kelompok berisi sekitar 30 - 80 butir telur. Telur berbentuk pipih dan
menyerupai genteng rumah, berwarna jernih. Diameter telur berkisar antara 1-2
mm. Stadium telur berlangsung selama 3 hari (Pracaya,
2009).
Larva yang baru
menetas hidup berkelompok di balik daun. Sesudah 4 - 5 hari, mereka bergerak ke
titik tumbuh. Ulat yang baru menetas berwarna kelabu, kemudian berubah menjadi
hijau muda. Pada punggungnya ada 3 baris putih kekuning-kuningan dan dua garis
di samping, kepalanya berwarna hitam. Panjang ulat sekitar 18 mm. Punggungnya ada
garis berwarna hijau muda. Sisi kiri dan kanan punggung warnanya lebih tua dan
ada rambut dari kitin yang warnanya hitam. Bagian sisi perut berwarna kuning.
Ada juga yang warnanya kuning disertai rambut hijau (Pracaya,
2009).
Pupa terletak dalam
tanah di dekat pangkal batang inang. Panjang pupa sekitar 8,5 - 10,5 mm,
berwarna hijau pudar dan coklat muda, kemudian berubah menjadi coklat tua
seperti tembaga.
Imago jantan lebih
besar dan lebih lebih panjang sedikitdaripada yang betina. Warna sayap muka
krem dengan bercak abu-abu coklat. Ngengat jantan berambut hitam
berumbia-rumbia di tepi masing-masing sayap muka di samping kepala, yang betina
kurang rimbun. Lama hidup untuk ngengat betina sekitar 16 - 24 hari. Daur
hidupnya sekitar 22 - 30 hari. Panjang larva dapat mencapai 18 - 25 mm.
Stadia Merusak
C. binotalis Zell merusak tanaman
dari stadia larva atau ketika masih menjadi ulat (Pracaya,
2009).
Gejala Serangan dan Bagian yang Dirusak
Larva kecil memakan bagian bawah daun dengan
meninggalkan bekas berupa bercak putih. Lapisan epidermis permukaan atas daun
biasanya tidak ikut dimakan dan akan berlubang setelah lapisan tersebut kering
serta hanya tinggal tulang-tulang daunnya. Bila bagian pucuk yang terserang
maka tanaman tidak dapat membentuk krop sama sekali.
Larva instar II mulai memencar dan menyerang
daun bagian lebih dalam dan sering kali masuk ke dalam pucuk tanaman serta
menghancurkan titik tumbuh. Apabila serangan terjadi pada tanaman kubis yang
telah membentik krop, larva yang telah mencapai instar III akan menggerek ke
dalam krop dan merusak bagain tersebut, sehingga dapat menurunkan nilai
ekonominya. Tidak jarang juga akan sering terjadi pembusukan krop karena
serangan tersebut yang diikuti oleh serangan skunder yaitu oleh jamur. Ulat
krop kubis lebih banyak ditemukan pda pertanaman yang telah membentuk krop,
yaitu pada tanaman berumur 7- 11 minggu setelah tanam.
Tanaman kubis atau
sawi yang diserang ulat ini selain rusak dan daunnya habis dimakan, tanaman
juga menjadi rusak dengan adanya sisa-sisa kotoran bekas ulat makan. Bila telur
dalam kelompok menetas, sekitar 300 ulat akan makan titik tumbuh sempurna. Ulat
akan menyerang dengan cepat pada tanaman lainnya sehingga ulat ini merupakan
hama yang berbahaya bagi tanaman sawi besar dan kol.
![]() |
Pengendalian hama ini antara lain dengan cara sebagai
berikut:
a.
Secara Biologi
Pengendalain secara biologi dapat
menggunakan musuh alami,
musuh alami dari Crocidolomia binotalis Zell. antara lain adalah:
b.
Secara Fisik
Kelompok telur dan larva yang baru
saja menetas diambil dan dimusnahkan. Gerombolan ulat tersebut dapat diambil
dengan lidi yang diruncingi dan mengambil telur beserta sedikit daun, kemudian
dimasukkan dalam suatu wadah untuk diberikan pada ayam atau dimusnahkan dengan
cara dibakar. Pengambilan telur dan kelompok ulat tersebut paling tidak
dilakukan dua kali setiap minggunya.
c.
Secara Kultur Teknis
Menanam pada waktu musim hujan
karena populasi hama ini paling rendah (sedikit).Penyemprotan dengan ekstrak biji
nimba dan tuba.
d.
Secara Kimia
Pengendalian secara kimia dapat
adalah tekhnik pengendalain akhir yang dilakuakn setelah pengendalain yang lain
tidak dapat lagi mencegah adanya hama tersebut, dapat menggunakan insektida
sistemik.
3. Hama
pengorok daun (Liriomyza spp.)
Klasifikasi lalat penggorok daun Liriomyza
huidobrensis menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut :
Kingdom :
Animalia
Filum :
Arthropoda
Kela :
Insecta
Ordo : Diptera
Family :
Agromyzidae
Genus : Liriomyza
Species : Liriomyza huidobrensis
Lalat penggorok daun termasuk genus Liriomyza, ordo Diptera,
famili Agromyzide. Liriomyza adalah salah satu dari lima genus lalat penggorok
daun (Agromyza, Japanaromyza, Liriomyza, Phytomyza, dan Tropicomyza)
yang berasosiasi dengan tanaman leguminosa. Genus liriomyza terdiri atas banyak
spesies. Lalat dengan tipe makan polifag ini dapat ditemukan pada berbagai
jenis tanaman, sehingga memungkinkan terbentuknya banyak spesies akibat
adaptasi, mutasi, dan evolusi (Baliadi, 2010).
Telur lalat kacang berbentuk lonjong, berukuran panjang 0,31 mm,
lebar 0,15 mm, berwarna putih seperti mutiara. Telur di letakkan pada keping
biji (kotiledon) serta daun pertama tanaman. Telur ini akan menetas setelah
berumur 2 - 4 hari dan keluar larva (Soehardjan, 1987).
Larva menggorok bagian jaringan palisade. Larva mengalami tiga
instar, larva instar terakhir berukuran 2-3 mm berwarna kuning. Larva dewasa
jatuh ke tanah dan membentuk pupa pada serasah tanaman. Siklus hidup dari telur
sampai imago berlangsung sekitar 21 hari (Baliadi, 2010).
Pupa berwarna kuning kecoklatan, berukuran lebih kurang 2,25-2,5 mm.
pada rumah kaca dengan suhu 27°C stadia pupa berkisar 8-9 hari tergantung pada
tanaman inang. Lama perkembangan pupa ini berkorelasi negatif terhadap suhu.
Pupa terdapat di bawah daun di ujung korokan dengan posisi menggantung atau
berada di permukaan tanah (Steck, 1996).
Lalat dewasa sangat kecil berukuran sekitar 2,5 mm. Lalat dewasa
berwana kuning pada bagian kepala, berwarna hitam pada bagian dekat oceli dan
mata, antena berwarna kuning dengan 3 segmen dan membulat, terdapat
rambut-rambut kaku yang tegak disekitar punggung yang berwarna kuning.

Gambar 4. Hama
pengorok daun (Liriomyza spp.)
Warna
tubuh kehitaman atau kekuningan. Bagian dorsal berwarna gelap, namun
skuletumnya kuning terang. Mesonotum berwarna hitam mengkilat, scutelum kuning
agak lancip, tungkai dengan koksa dan femur berwarna kuning, tibia dan tarsus
berwarna coklat. Lebar sayap jantan 1,5 mm dan betina 1,6 mm. Abdomen hampir keseluruhan
berwarna hitam mengkilap. Imago betina memiliki ovipositor yang berkembang
sempurna, dan alat ini yang merupakan pembeda dengan lalat jantan. Lalat betina
membuat beberapa tusukan, pada bagian atas permukaan daun yang diawali pada
daun bagian atas (Malipatil, 2004).
Gejala Serangan
Gejala serangan lalat penggorok daun
pada tanaman mudah dikenali dengan adanya liang korokan beralur warna putih
bening pada bagian mesofil daun. Apabila liang korokan tersebut dibuka, akan
terlihat larva yang aktif bergerak. Larva hidup dan makan didalam liang
korokan. Pada satu helai daun dapat dijumpai lebih dari satu liang korokan.
Pada serangan lanjut, warna liang korokan menjadi kecoklatan, daun layu dan
gugur (Soehardjan, 1987).
Gejala berupa liang korokan beralurwarna
putih bening pada bagian mesofil daun, gejala ini banyak ditemukan pada daun
tanaman. Jumlah alur korokan bervariasi, bergantung pada jumlah larva yang
menetas. Pada serangan lanjut, liang korokan berubah warna menjadi kecoklatan
dan di dalamnya larva berkembang. Gejala tersebut merupakan ciri khas serangan
lalat penggorok daun, Liriomyza sp (Baliadi, 2010).
Selanjutnya larva menggerek pada
keping biji atau daun akan menuju ke batang, terus ke pangkal batang dan
pangkal akar melalui jaringan epidermis kulit batang. Gejala serangan pada
kulit batang sukar dilihat tanpa menggunakan mikroskop, terutama gerekan pada
batang dekat pangkal keping biji atau pangkal tangkai daun (BPTP Sumut, 2007).
Apabila
liang-liang yang disebabkan gerekan larva cukup banyak. Gejala serangan sudah
tampak pada 14 hari setelah tanam.
![]() |
Gambar 5. Hama pengorok daun (Liriomyza spp.)
Sebagai akibat putusnya jaringan kulit, maka akar tanaman menjadi layu,
kering dan mati karena akar tidak dapat lagi berfungsi normal untuk menghisap
air dan unsur hara dari dalam tanah. Pada tingkat serangan ringan tanaman dapat
tumbuh terus, karena diatas pangkal akar yang rusak masih dapat tumbuh
akar-akar baru (Soehardjan, 1987).
Gejala serangan larva pada keping biji menunjukkan suatu kecenderungan
bahwa semakin tua umur tanaman semakin rendah persentase tanaman terserang.
Semakin tua umur tanaman semakin kurang disukai lalat sebagai tempat untuk
meletakkan telurnya, Diduga kandungan nutrisi termasuk airnya menurun bagi
kesesuaian peneluran imago, sehingga imago kurang tertarik dengan daun yang tua
dan berkadar air rendah (Supratha, 2002).
Pengendalian Hama Liriomyza
huidobrensis
Berdasarkan komponen
pengendalian yang tersedia pada tanaman hias dan
sayuran, rekomendasi PHT
untuk lalat penggorok daun dapat dilakukan dengan:
−
Tanam serentak
pada hamparan kisaran waktu 14 hari
−
Pergiliran tanaman dengan padi atau jagung untuk lahan sawah
dan jagung ubi untuk lahan kering.
−
Pemantauan lalat penggorok daun mulai 6-30 hari
−
Pemupukan berimbang dan
−
Pemasangan perangkap warna likad kuning (16 cm x 15 cm)
(Baliadi, 2010).
Pengendalian hama yang paling utama dilakukan petani adalah
penggunaan pestisida. Akan tetapi apabila penggunaan bahan insektisida tersebut
kurang bijaksana akan menimbulkan dampak negatif bagi flora maupun fauna serta
lingkungan, dan disamping itu pula bahan kimia atau pestisida tersebut harganya
cukup mahal (Thamrin, 2008) .
Di Indonesia, untuk mengatasi lalat penggorok daun, petani
sayuran umumnya melakukan aplikasi insektisida setiap minggu, bahkan terkadang
seminggu dua kali. Salah satu insektisida yang digunakan adalah yang berbahan
aktif profenopos (Baliadi, 2010).
3.1.2.
Predator
a.
Semut Rangrang
Klasifikasi semut rangrang(Oecophylla smaradigna)
Ordo : Hymenoptera
Family : Formicidae
Subfamily : Formicinae
Genus : Oechophylla
Species : Oechophylla smaragdina

Gambar 6. Semut
rangrang (Oecophylla smaradigna)
Semut rangrang
sering ditemukan bersarang pada berbagai jenis pepohonan, misalnya pohon
buah-buahan. Keberadaan semut rangrang pada pepohonan sering dianggap sebagai
pengganggu terutama saat akan melakukan pemanenan, karena gigitannya yang
sakit. Dibalik itu semua, adakah manfaat dari semut rangrang bagi manusia?
Semut rangrang dapat melindungi kebun dariserangan hama dan penyakit. Semut ini
memangsa hama baik yang merusak secara langsung maupun yang menularkan penyakit
pada tanaman. Hasil penelitian
dan pengalaman menunjukkan bahwa semut rangrang dapat memangsa berbagai
hama misalnya kepik hijau, ulat pemakan daun, ulat pemakan buah dan kutu-kutuan
pada coklat, mete, jeruk. Bahkan semut rangrang dapat mengusir tikus.
3.1.3. Penyakit
Tanaman sawi
a)
Bercak Daun Alternaria

Gambar 7.
Gejala serangan Bercak Daun Alternaria
Pengendalian dapat dilakukan dengan perlakuan benih yang
direndam dengan air hangat (50 0C) selama 15 menit, jarak tanam yang tidak
terlalu rapat sehingga sirkulasi udara berjalan dengan baik, pergiliran tanaman
dengan tanaman selain kubis-kubisan dan sebagai alternatif terakhir dengan
penyemprotan fungisida yang berbahan aktif benomil.
IV. HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
Usaha
budidaya tanaman sawi banyak mengalami kegagalan terutama karena serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit tanaman
sawi sering menyerang tanaman yang masih di lahan atau menyerang biji yang
telah disimpan di gudang. Berikut ini adalah beberapa hama dan penyakit penting yang sering menyerang tanaman sawi, Ulat tritip/Ulat perusak
daun, Ulat titik tumbu, Hama pengorok daun, Bercak Daun Alternaria.
4.2.
Pembahasan
Sawi
merupakan famili Cruciferae yang mempunyai banyak kandungan yang sangat
bagus untuk tubuh manusia yang mampu hidup pada daerah ketinggian 500-1000 m
dpl. Yang memiliki banyak jenis yang banyak dibudidayakan ,batang sawi ramping
dan lebih hijau yang ciri khasnya ialah berdaun lonjong , halus tidak
berbulu dan tidak berkrop (Puput, 2010).
Pada dasarnya
tumbuhan tidak selamanya bisa hidup tanpa gangguan. Gangguan terhadap tumbuhan
yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan jamur disebut penyakit yang merusak
tumbuhan dengan mengganggu proses – proses dalam tubuh tumbuhan sehingga
mematikan tumbuhan. Selain itu tumbuhan juga mengalami gangguan oleh binatang
atau organisme kecil (virus, bakteri, atau jamur). Hewan dapat disebut hama
karena mereka mengganggu tumbuhan dengan memakannya. Belalang, kumbang, ulat,
wereng, tikus, walang sangit merupakan beberapa contoh binatang yang sering
menjadi hama tanaman. Selain merusak tanaman hama juga dapat mempengaruhi mutu
hasil tanaman tersebut.
Banyak hal yang
harus diperhatikan untuk merawat tanaman. Merawat tanaman tak hanya cukup
memberi air dan pupuk supaya tanaman tumbuh subur dan sehat, tetapi juga
memperhatikan jenis tanaman, kondisi tanah, iklim dan hama yang kemungkinan
dapat menyerang. Sangatlah penting untuk menghindarkan tanaman dari hama yang
mengganggu.
Hama adalah organisme yang dianggap merugikan dan tak diinginkan dalam kegiatan sehari-hari
manusia, selain itu hama juga merupakan pengganggu tanaman yang menimbulkan
kerusakan secara fisik, menurunkan kualitas dan kuantitas yang menyebabkan
kerusakan mutu hasil tanaman serta kerugian dalam pertanian (Alvegas, 2012).
Pada umumnya
serangan hama tersebut akan berdampak kerugian bagi tanaman seperti :
Oleh karena
itulah diperlukan upaya pengendalian dan control terhadap tanaman sehingga
dapat mengurangi risiko kerusakan yang lebih parah. Pengendalian hama secara umum
dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu mekanis, pengaturan sanitasi
lingkungan atau ekologi, dan kimiawi.
Pengendallian
hama secara mekanis dilakukan dengan cara menangkap langsung hama yang terdapat
pada tanaman. Ulat dapat ditangkap pada malam atau siang hari saat mereka
menempel pada tanaman. Pengendalian mekanis dilakukan bila populasi hama
sedikit. Bila populasinya banyak, sebaiknya digunakan cara lain karena tidak
efesien dalam hal waktu maupun tenaga kerja. Pengendalian lainnya adalah dengan
pengaturan sanitasi lingkungan. Sanitasi yang baik dan terjaga mengurangi
kemungkinan hama menyerang tanaman. Sebagai contoh, ngengat biasanya berdiam di
sampah atau rumput-rumput yang lembap. Bila lingkungan tanaman terhindari dari
adanya sampah atau kotoran lainnya maka kesempatan siput untuk tinggal di
lingkungan tersebut menjadi berkurang. Dengan demikian, tanaman akan aman dari
serangan hama (Ardianto, 2012).
Pengendalian
secara kimiawi pun dapat dijadikan pilihan bila cara lain tidak mungkin dilakukan
atau tidak dapat mengatasi hama. Artinya, bisa sudah dilakukan cara mekanis
atau sanitasi lingkungan tetap saja hama menyerang tanaman maka cara kimia pun
digunakan. Di pasaran sudah banyak dijual berbagai merek dan jenis pestisida
untuk mengatasi hama anggrek. Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan
pestisida adalah dosis dan cara pemakaiannya. Bila dosis dan cara pemakainan
salah, akan terjadi kerusakan pada tanaman maupun gangguan kesehatan manusia.
Penggunaan pestisida relatif lebih praktis dan cepat cara kerjanya. Namun
demikian, biaya yang diperlukan lebih besar dibandingkan cara mekanis maupun
sanitasi lingkungan (Ardianto, 2012).
Beberapa hal yang menyebabkan
terjadinya permasalahan hama, yakni:
1.
Kebakaran, banjir dan pembukaan
lahan baru.
2.
Penggunaan areal tanah yang luas
hanya untuk satu jenis tanaman (monokultur).
3.
Masuknya hama
dari suatu daerah ke daerah lain.
4.
Punahnya predator-predator hama
dan pindahnya habitat predator hama karena penggunaan pestisida.
Solusi
pengendalian hama jangka panjang dibutuhkan untuk mengembalikan keseimbangan
alam dilahan pertanian, perkebunan dan lingkungan alami. Ini tentu saja
memerlukan waktu bertahun-tahun, sehingga PHT juga meliputi solusi pengendalian
hama jangka pendek, termasuk penggunaan pestisida alami (Ardianto, 2012).
Secara umum pengendalian hama
terpadu (PHT) merupakan salah satu upaya yang tepat untuk mengendalihan hama
yang terdapat pada tanaman. PHT merupakan upaya terencana dan terkoordinasi
untuk melembagakan penerapan prinsip-prinsip PHT oleh petani dalam usaha
taninya serta memasyarakatkan pengertian-pengertian PHT dikalangan masyarakat
umum dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. “Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah upaya pengendalian populasi
atau tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dengan menggunakan
salah satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalia yang dikembangkan dalam
satu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan
lingkungan hidup” (Ardianto,
2012).
Pengendalian hama terpadu
didefinisikan sebagai cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian
organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang didasarkan pada pertimbangan ekologi
dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan
lingkungan berkelanjutan. Dengan pengertian ini, konsepsi PHT telah sejalan
dengan paradigma pembangunan agribisnis. Konsep PHT muncul dan berkembang
sebagai koreksi terhadap
kebijakan pengendalian hama secara konvensional yang menekankan penggunaan
pestisida. Penggunaan pestisida dalam kerangka penerapan PHT secara
konvensional ini menimbulkan dampak negatif yang merugikan baik ekonomi,
kesehatan, maupun lingkungan sebagai akibat penggunaan yang tidak tepat dan
berlebihan (Ida Nyoman, 199).
Pelaksanaan program pengendalian
hama terpadu (Integreted Pest Management) merupakan langkah yang sangat
strategis dalam kerangka tuntutan masyarakat dunia terhadap berbagai produk
yang aman dikonsumsi, menjaga kelestarian lingkungan, serta pengelolaan
sumberdaya alam yang berkelanjutan yang memberikan manfaat antar waktu dan
antar generasi. Salah satu pertimbangan dasar, pentingnya melakukan introduksi
teknologi PHT, adalah adanya pergeseran strategi pembangunan dari pendekatan
pertumbuhan, top down, dan bersifat jangka pendek (pola pembangunan
konvensional) ke arah pendekatan pembangunan pemerataan, partisipatif, jangka
panjang dan berkelanjutan yang disebut pola pembangunan berkelanjutan (Ida Nyoman, 1995).
Pelaksanaan pengendalian hama dan
penyakit melalui pengendalian hama terpadu (PHT) dengan cara memperhitungkan
atau menganalisa sejauh mana organisme penyebab hama dan penyakit tersebut
mengganggu tanaman budidaya yang disebut dengan batas ambang ekonomis (Tjahjadi, 1989).
Dalam mengembangkan Pengendalian
Hama Terpadu (PHT), ini menggunakan dua prinsip dasar yaitu preventif
(pencegahan) dan kuratif (penyembuhan). Prinsip preventif dilakukan dengan
menjaga kesehatan tanah, tanaman, serta ekosistem pertanian, dikombinasikan
dengan pencegahan serangan hama menggunakan metode repellent (tanaman penarik
predator dan pengusir hama). Aktivitas yang termasuk di dalamnya meliputi:
manajemen pengolahan tanah, manajemen benih, manajemen pembibitan, dan
pemeliharaan yang optimal. Sasaran penerapan pengendalian
hama terpadu (PHT) yaitu :
1.
populasi OPT dan kerusakan
tanaman tetap berada pada arah yang secara ekonomis tidak merugikan
2.
produktivitas pertanian mantap
pada taraf tinggi
3.
penghasilan dan
kesejahteraan petani meningkat
4.
risiko kesehatan dan pencemaran
lingkungan ditekan. Strategi yang diterapkan dalam melaksakan PHT adalah
memadukan semua teknik pengendalian OPT dan melaksanakannya dengan taktik yang
memenuhi azas ekologi serta ekonomi.
Selain itu menurut Agus Suyanto (1994), pengendalian
hama terpadu (PHT) meliputi empat prinsip dasar, yaitu:
1.
Tanaman budidaya yang sehat
Sasaran pengelolaan
agro-ekosistem adalah produktivitas tanaman budidaya. Pemilihan varietas,
tanaman yang memperoleh cukup pemupukan, pengairan, penyiangan gulma dan
disertai pengolahan tanah yang baik sebelum masa tanam adalah dasar bagi
pencapaian hasil produksi yang tinggi. Budidaya yang sehat dan kuat bagian
program PHT.
2.
Melestarikan dan
Mendayagunakan fungsi musuh alami
Kekuatan unsur-unsur alami
sebenarnya mampu mengendalikan lebih dari 99% hama kebanyakan lahan agar tetap
berada pada jumlah yang tidak merugikan. Tanpa disadari, sebenarnya semua
petani bergantung pada kekuatan alami yang sudah tersedia di lahannya
masing-masing. PHT secara sengaja mendayagunakan dan memperkuat peranan musuh
alami yang menjadi jaminan pengendalian, serta memperkecil pemakaian pestisida
berarti mendatangkan keuntungan ekonomis kesehatan dan lingkungan tidak
tercemar.
DAFTAR PUSTAKA
Pracaya. 1993, Hama dan Penyakit
Tanaman, Penebar Swadaya, Jakarta
Baliadi, Y. 2009. Fluktuasi populasi lalat pengorok daun, Liriomyza sp. pada tanaman
kedelai di kebun percobaan Kendalpayak dan pengaruh
serangannya terhadap pertumbuhan tanaman kedelai. Laporan Hasil Penelitian. Balai
Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian, Malang.
Supartha, I.W. 2002. Bionomi Liriomyza huidobrensis (Blancard) (Diptera: Agromyzidae)
pada Tanaman Kentang. Disertasi. Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 hlm.
Sartono & Sumarmi, 2007, Kajian
Insektisida Hayati terhadap Daya Bunuh Ulat Plutella
Xylostella dan Crocidolomia binotalis pada Tanaman Kubis Krop. Fakultas Pertanian.
Trizelia, 2001, ‘Pemanfaatan Bacillus
thuringiensis untuk Pengendalian Crocidolomia
binotalis, Zell (Lepidotera: Pyralidae)’ Jurnal Argrikultura, vol. 19, no. 3, hal.
184-190.
Anonim, 2000, Pedoman
Pengendalian Hama Terpadu Holtikultura, Direktorat
Perlindungan
Tanaman Pangan, Agromedia Pustaka, Jakarta
Bukhari, 2009, ‘Efektifitas Ekstra
Daun Mimba Terhadap Pengendalian Hama Plutella
xylostella L. Pada Tanaman Sawi. Dalam Prosiding Hasil Penelitian
dalam rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati’, D. Soetopo (editor), Bogor.
Haryanto, E, 2003, Sawi dan Selada, Penebar Swadaya, Jakarta
Konno, K, 2004, ‘Papain Protects
Papaya Trees from Hervivorous Insect: Role of
Cysteine
Proteases in Latek’ Plant Journal vol.
37, no. 3, hal. 370-378
Suparta dkk. 2005. Kelimpahan populasi Liriomyza
spp.
(Diptera”Agromizidae) dan
parasitoid pada tanaman sayuran dataran tinggi. Agritrop. Jurnal Ilmu-Ilmu
Pertanian (Journal On Agriculture Sciences. Laboratorium Ekologi dan
Sistematika Serangga, Jurusan Hama 69
dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Denpasar.
LINK DOWNLOAD
0 komentar:
Posting Komentar