Kursor Blog

Blogroll

hama dan penyakit pada tanaman kakao




BAB I
PENDAHULUAN
1.                  Latar Belakang
Kakao merupakan tanaman perkebunan yang mempunyai peranan penting bagi perekonomian nasional. Komoditas biji kakao menduduki tempat yang sejajar dengan komoditas perkebunan lainnya, seperti kelapa sawit dan karet (Tumpal,dkk, 2012). Indonesia sebagai produsen kakao ketiga di dunia mempunyai kontribusi ± 12 % terhadap produksi dunia. Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor andalan penyumbang devisa bagi negara di sektor non migas, ekspor kakao olahan Indonesia pada tahun 2006 mencapai 80.991 ton dengan nilai US$ 175.314.000 (Karmawati, Mahmud, dkk, 2010). Luas areal tanaman kakao di Indonesia mencapai 1.462.000 Ha dengan  produksinya mencapai 1.315.800 ton/th. Kurang lebih dari  90% luas areal kakao di Indonesia merupakan perkebunan rakyat (Siswanto dan Karmawati, 2011).
Komoditas kakao merupakan sumber pendapatan utama bagi banyak petani, terutama sejak terjadinya krisis ekonomi (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011). Sumatera Barat merupakan salah satu daerah pengembangan komoditas kakao. Pengembangan kakao dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan produktivitas petani, mendorong agribisnis dan pengembangan wilayah (Dinas Perkebunan Sumatera Barat, 2010). Tahun 2007, Sumatera Barat dicanangkan sebagai sentra produksi kakao untuk wilayah Indonesia bagian barat dengan target pengembangan seluas 100.000 Ha tanaman kakao. Perkembangan produksi kakao di Sumatera Barat terus meningkat secara signifikan. Tahun 2012 lahan yang digunakan untuk pengembangan tanaman kakao telah mencapai luas 116.461 Ha dengan total produksi mencapai 59.679 ton/th (Statistik Pertanian, 2012). Daerah pengembangan kakao di Sumatera Barat tersebar di berbagai kabupaten. Pasaman Barat menjadi salah satu pusat pengembangan kakao di Sumatera  Barat. Perkebunan kakao di Kabupaten Pasaman Barat merupakan perkebunan rakyat (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Produksi kakao di Pasaman Barat mengalami peningkatan, tahun 2003 luas pertanaman kakao 8.077 Ha dengan
produksi 3.246 ton/tahun dan tahun 2010 luas pertanaman kakao telah mencapai 11.094 Ha dengan produksi 7.296,82 ton/tahun (Dinas Perkebunan Kabupaten Pasaman Barat, 2004 – 2012).
Kecamatan Ranah Batahan dulu berpotensial menghasilkan buah kakao, namun sekarang mengalami penurunan bahkan ada beberapa perkebunan rakyat yang tidak produktif lagi. Pada tahun 2003 luas pertanaman kakao 384 Ha dapat mencapai produksi sebesar 237 ton/tahun dan terus mengalami penurunan, hingga tahun 2012 luas lahan mencapai 1.005 Ha dengan total produksi 167,04 ton/tahun dan produksi rata-rata hanya mencapai 166,20 kg/Ha, masih jauh tertinggal dari standar produksi yang dianjurkan yaitu 1.000 kg/Ha (Dinas Perkebunan Kabupaten Pasaman Barat, 2004 - 2012). Rendahnya produksi kakao tersebut disebabkan karena berkembangnya hama dan penyakit serta kurangnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam teknologi budidaya kakao terutama dalam pemeliharaan diantaranya: pemupukan, pemangkasan dan pengendalian hama dan penyakit. Salah satu penyakit penting pada tanaman kakao adalah penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh  jamur  P. Palmivora  Butlher. (Semangun, 2000 Tumpal, dkk, 2012).
Diduga penurunan hasil kakao di Kecamatan Ranah Batahan karena serangan jamur P. palmivora dan peranan jamur tersebut di dalam menurunkan hasil kakao masih belum diketahui, untuk itu maka telah dilakukan penelitian dengan judul “Hubungan Intensitas Serangan Phytophthora palmivora dengan Kehilangan Hasil pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) di Kecamatan Ranah Batahan Kabupaten Pasaman Barat”. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui besarnya intensitas serangan P. palmivora yang menyerang buah kakao dan mengukur kehilangan hasil akibat serangan jamur P. palmivora di Kecamatan Ranah Batahan Pasaman Barat.


















BAB II  
TINJAUAN PUSTAKA
1.        Deskripsi Penyakit  Phytophthora  palmivora
Penyakit busuk buah pada tanaman kakao disebabkan oleh Phytophthora palmivora menurut anonim (2008), cendawan ini tergolong dalam :
Klasifikasi phytophthora palmivora
Kingdom         : Stramenophiles
Kelas               : Oomycetes
Ordo                : Peronosporales
Famili              : Pythiaceae
Genus              : Phytophthora
Spesies            : Phytophtora palmivora Butler
Phytophtora palmivora memiliki kisaran inang yang luas dapat menyerang 138 spesies tumbuhan yang termasuk ke dalam bermacam-macam family (Chee, 1969). Untuk dapat berkembang biak, cendawan ini memerlukan temperatur dan kelembaban udara tertentu. Perkembangan penyakit makin tinggi pada temperatur optimum 31oC (Tucker, 1931 dalam Agrios 1996). Cendawan ini telah dikenal sejak tahun 1886 di Indonesia dan menjadi penyakit penting pada tanaman perkebunan (Muller, 1935 dalam Agrios, 1996). P. palmivora dapat menyerang bermacam-macam tanaman, dengan demikian sumber inokulum selalu ada dilapangan. Namun yang dianggap sumber inokulum paling penting adalah tanah.
2.        Morfologi Phytophthora palmivora
Phytophthora merupakan marga yang memiliki sporangium yang jelas berbentuk seperti buah jeruk nipis dengan tonjolan di ujungnya. Sporangium ini tidak tahan kering, jika ada air maka sporangium ini akan melepaskan zoospora-nya. Zoospora berenang-renang kemudian membentuk kista pada permukaan tanaman dan akhirnya berkecambah dengan menghasilkan hifa yang pipih yang masuk ke dalam jaringan inang (Gregor, 1984). Pada perkecambahan secara tidak langsung diferensiasi zoospora terjadi di dalam sporangium. Cendawan P. palmivora merupakan cendawan yang mempunyai miselium yang menghasilkan oospora dan zoosporangium. Zoospora mempunyai bulu cambuk. Spora seksual (oospora) dihasilkan oleh penyatu gamet yang berbeda secara morfologi (Agrios, 1996). Zoosporangium dihasilkan sepanjang hifa somatik atau pada ujung hifa dan seperangkat hifa bebas. Sporangium berukuran 36 - 80 x 26 - 40 (av 57 x 34) mikron. Oogonium berkisar 26 - 36 dan 22 - 32 mikron. Klamidospora siap dibentuk yang memiliki ukuran 32 - 48 mikron (Jhonson, et al., 1999).
Zoospora keluar satu persatu melalui papilia yang terdapat pada ujung sporangium. Zoospora mempunyai dua flagella yang tidak sama panjangnya. Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron diketahui bahwa flagella yang pendek (anterior) mempunyai benang-benang yang disebut mastigonema, sedang yang panjang (posterior) berbulu sangat halus. Jenis Phytophthora sp. tertentu membentuk klamidospora bulat, terminal atau interkalar, berdinding agak tebal, mula-mula hialin, akhirnya berwarna kecoklat-coklatan (Semangun, 1991).
 








Gambar 2. Bentuk dan morfologi spora Phytophthora palmivora. Buah kakao
yang terserang P.palmivora (A), gumpalan sporangia pada miselium
(B), klamidospore (C.a), papilla (C.b), sporangium (C.c), (D), Zoosporangium sempurna dari  Phytophthora palmivora sebelum melepaskan zoospora.
3.        Daur Hidup Phytophthora palmivora
Cendawan yang mengadakan infeksi pada buah dapat bersumber dari tanah, batang yang sakit kanker batang, buah yang sakit, dan tumbuhan inang lainnya (Semangun, 1996).
P. palmivora terutama bertahan dalam tanah. Dari sini dapat terbawa oleh percikan air hujan ke buah-buah yang dekat tanah. Setelah mengadakan infeksi, dalam waktu beberapa hari P. palmivora pada buah dapat menghasilkan sporangium. Sporangium dapat terbawa oleh percikan air atau oleh angin dan mencapai buah-buah yang lebih tinggi. Cendawan berada dalam tanah dapat juga terangkut oleh serangga, antara lain semut, sehingga dapat mencapai buah-buah yang tinggi. Dari buah-buah yang tinggi, sporangium dapat terbawa air ke buah-buah dibawahnya (Semangun, 1996). Cendawan ini dapat bertahan dalam berbulan-bulan di dalam tanah dalam bentuk siste (Khlamidospora) (Susanto, 1995).
Dari buah yang terserang P. palmivora dapat berkembang melalui tangkai dan menyerang bantalan bunga, dan dapat berkembang terus sehingga menyebabkan terjadinya, penyakit kanker batang. Dari sini kelak dapat kembali menyerang buah (Semangun, 1996).
Infeksi P. palmivora dapat langsung terjadi antar buah melalui percikan air hujan melalui permukaan tanah, serangga,. Biji didalam buah akan rusak selang 15 hari setelah terinfeksi (Siregar dkk, 2000).
P. palmivora dapat menyerang bermacam-macam tanaman. Meskipun demikian belum diketahui dengan pasti dari berbagai tanaman tadi semuanya dapat menimbulkan penyakit pada kakao (Susanto, 1995).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber infeksi selalu ada. Namun yang dianggap sebagai sumber infeksi yang paling utama adalah tanah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengendalikan P. palmivora di dalam tanah tetapi tidak memberikan hasil yang memuaskan (Susanto, 1995).
4.        Gejala Serangan dan Arti Ekonomi
Infeksi P. palmivora pada buah menunjukkan gejala bercak berwarna kelabu kehitaman. Biasanya bercak tersebut terdapat pada ujung buah. Bercak mengandung air yang kemudian berkembang sehingga menunjukkan warna hitam. Bagian buah menjadi busuk dan biji pun turut membusuk. Pembentukan spora terlihat dengan adanya warna putih di atas bercak hitam yang telah meluas. Pada temperatur 27,5 sampai 30o C pertumbuhan spora ini sangat cepat. Infeksi P. palmivora dicirikan dengan adanya bercak berwarna coklat yang mulai dari bagian mana saja. Jaringan yang tidak terinfeksi tampak jelas dan dibatasi oleh permukaan kasar, tetapi bercak dapat berkembang dengan cepat dan seringkali menampakkan pembusukan yang menyeluruh dan berwarna hitam. Pertumbuhan cendawan pada bagian-bagian luar kakao lebih cepat, tetapi infeksi yang menyeluruh dapat menyebabkan kerusakan pada biji (Cook, 1978).
Busuk buah dapat ditemukan pada semua tingkatan buah, sejak buah masih kecil sampai menjelang masak warna buah berubah, umumnya mulai ujung buah atau dekat dengan tangkai kemudian meluas keseluruh permukaan buah dan akhirnya buah menjadi hitam. Pada permukaan buah yang sakit dan menjadi hitam tadi timbul lapisan berwarna putih tepung yang merupakan cendawan sekunder yang banyak membentuk spora. Pada permukaan buah juga banyak ditemukan sporangiofor dan sporangium cendawan.
Kerusakan oleh P. palmivora dapat bervariasi mulai ringan, sedang sampai buah tidak dapat dipanen. Kerusakan berat bila cendawan ini masuk kedalam buah dan menyebabkan pembusukan pada biji. Bila menyerang buah pentil, menyebabkan buah termumifikasi sedangkan serangan pada buah muda menyebabkan pertumbuhan biji terganggu yaitu menjadi lunak dan berwarna coklat kehijau-hijauan dan akibatnya mempengaruhi penurunan kualitas biji. Serangan pada buah yang hampir masak tidak begitu berpengaruh pada pertumbuhan biji namun terjadi biji lembek dan akhirnya penurunan aroma biji yang kurang baik (Semangun, 1996).
Dalam keadaan lembab, cendawan ini dapat berkembang biak dengan cepat. Penyebaran spora dari sumber infeksi ke tempat lain dibantu oleh percikan air dari tanah ke buah bagian bawah, kemudian dari buah yang terinfeksi kebuah yang sehat dengan perantara serangga dan akibat gesekan antar buah yang sakit dengan buah yang sehat dalam kondisi yang baik.
Di Indonesia besarnya kerugian sangat berbeda antara kebun yang satu dengan kebun yang lainnya, bervariasi antara 26% dan 60% (Anonim, 1993). Angka ini bervariasi dari beberapa persen di Malaysia Semenanjung dan 80% - 90% di Kamerun (Gregor, 1984). Di Sumatra Utara, meskipun kakao mulai termasuk golongan Trinitario, mulai ditanam tahun 1940 sampai tahun 1970-an busuk buah tidak dikenal. Baru setelah disana ditanam kakao lindak pada tahun 1970-an busuk buah mulai terdapat semula pada UAH tetapi akhirnya juga terjadi pada Trinitario (Pamata, 1983).
 







Gambar 1. Gejala penyakit busuk buah kakao
5.        Mendeteksi  Penyakit Dengan Menggunakan Alat PCR
Selama ini pendekatan molekuler untuk mendeteksi P. Palmivora dengan PCR di Indonesia bertumpu pada penggunakan pasangan primer ITS4/ITS5 padahal primer ini bersifat niversal yang  dapat mengamplifikasi rDNA berbagai  cendawan. Dengan demikian, apabila hanya berdasar kepada ukuran fragmen  produk PCR hasil amplifikasi menggunakan primer ITS4/ITS5 dikhawatirkan terjadi kesalahan positif di mana fragmen berukuran sama bukan berasal dari P. Palmivora tetapi dari cendawan lainnya. Oleh karena itu dalam kegiatan penelitian  ini didesain primer spesifik pada daerah ITS rDNA untuk mendeteksi P. almivora  pada kakao. Pada penelitian sebelumnya, hasil amplifikasi rDNA apitan ITS4/ITS5 dari enam isolat P. Palmivora telah berhasil disekuen. Dari data sekuen yang ada keenam isolat tersebut memiliki tingkat kesamaan yang sangat tinggi. Sekuen yang ada selanjutnya digunakan untuk pembuatan desain primer baik forward  maupun reverse.
a.       Perancangan primer forward
Analisis primer  forward menggunakan sekuen daerah ITS rDNA  P. Palmivora dengan urutan basa 5 ′′′′CTT AGT TGG GGG TCT CTT TC-3′′′′. Berpatokan  pada sekuen tersebut maka dapat dilihat banyak perbedaan basa antara P. Palmivora dengan spesies Phytophthora
lainnya dari  databank . Pada Tabel 1 terlihat bahwa sekuen P. Palmivora memiliki kesamaan dengan sekuen P. arecae.
Hal ini disebabkan isolat P. Arecae yang diambil dari databank nomor  aksesi F266781 sebenarnya adalah  P. palmivorayang berasal dari Indonesia  yang diisolasi dari kelapa (Appiah et al., 2004, dan Cooke etal., 2000), demikian pula P. Arecae bersifat konspesifik (conspcific) dengan P. palmivora(Erwin & Ribeiro 1996). Setelah dilakukan analisis dengan www.cybergene.se maka primer dengan urutan basa 5′-CTT AGT TGG GGG TCT CTT TC-3′ hasilnya tidak ditemukan struktur palindrom dan jepit rambut, dengan -
Tm = 55,6oC, Ta = 50,6oC dan rasio G/C sebanyak 50,0%.
b.      Perancangan primer
reverse Untuk merancang primer reverse pada daerah ITS rDNA P. palmivora maka dipilih sekuen yang tinggi keragamannya dibandingkan dengan spesies Phytophthora lainnya dari GenBank sekuen primer reverse yang dianalisis adalah 5′′′′-GGT GGT ATG ATT GGT -GAA C-3′′′′ pada P. Palmivora, kemudian dikomplementasi menjadi 3′′′′-CCA CCA TAC -TAA CCA CTT G-5′′′′ setelah itu di reverse menjadi 5′GTT CAC CAA TCA TAC CAC C-3′.Pada primer ini nampak banyak perbedaan basa antara P. Palmivora dengan spesies Phytophthora lainnya dari databank yang dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada sekuen tersebut tidak terdapat struktur palindrom dan jepit rambut, dengan Tm=54,2oC serta Ta= 49,2oC dengan rasio G/C sebanyak 47,4%. Hasil perancangan primer pada daerah ITS rDNA P. Palmivora ditetapkan primer forward adalah 5′CTT AGT TGG GGG TCT CTT TC-3′diberi nama DTF dan primer reverse 5′GTT CAC CAA TCA TAC CAC C-3′diberi nama Ilyas1R.

c.       Pengujian primer dengan PCR
Pasangan primer DTF/Ilyas1R digunakan untuk mengamplifikasi rDNA terhadap semua isolat sampel. Sebagai pembanding amplifikasi dengan primer umum yaitu ITS4 5′TCC TCC GCT TAT TGA TAT GC-3′dan ITS5 5′GGA AGT AAA AGT CGT AAC AAG G-3′juga
dilakukan.
Tabel 1. Perbedaan sekuen rDNA beberapa spesies Phytophthora dari GenBank untuk nalisis primer forward disesuaikan dengan Clustal-W.
Table 1. Ribosomal DNA (rDNA) sequence variation in Phytophthora species determined from GenBank for the analyses of forward primer based on Clustal-W.
 










Gambar 1 memperlihatkan bahwa pasangan primer ITS4/ITS5 dapat mengamplifikasi daerah ITS rDNA semua isolat sampel. Hal ini disebabkan pasangan primer tersebut adalah primer umum yang dirancang untuk mengamplifikasi sebagian sub unit kecil 18S, keseluruhan daerah ITS1 dan ITS2 serta 5.8S, dan sebagian sub unit besar 28S rDNA berbagai jenis
cendawan (White et al., 1990).
Ukuran fragmen DNA hasil amplifikasi pasangan primer ITS4/ITS5 pada isolat P. -palmivora, P. Capsici dari lada dan P. Capsici E.901 dari terong nampak nya sama dengan yang diperkirakan sekitar 900 bp. Akan tetapi berdasarkan penelitian Ristaino et al . (1998) bahwa ukuran fragmen hasil amplifikasi dengan primer ITS4/ITS5 pada P. Palmivora diperkirakan sekitar 950 bp sedangkan P. Capsici berukuran sekitar 900 bp. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia terhadap isolat Phytophthora dari kakao menunjukkan bahwa amplifikasi dengan primer ITS4/ITS5 menghasilkan pita tunggal berukuran sekitar 900 bp
(Darmono & Purwantara 2001; Umayah 2004). Berdasarkan ciri morfologi dan molekuler yang ditunjukkan disimpulkan bahwa beberapa isolat Phytophthora yang diisolasi dari buah yang terserang dan dari kanker batang pada perkebunan kakao di Indonesia adalah P. palmivora(Butl.) (Umayah, 2004).
Pengembangan penanda molekuler untuk deteksi Phytophthora palmivora...








Gambar 1. Amplifikasi dengan PCR pada rDNA menggunakan pasangan primer ITS4/ITS5.
            Lajur 1 & 14: marker 1 Kb plus DNA ladder; lajur 2 – 13 berturur-turut  adalah , P. –palmivora P; P. PalmivoraRCP; P. PalmivoraBAC; P. palmivoraBDC1; P. palmivoraBDC2;
P. capsici dari lada 1; P. Capsici dari lada 2; P. Capsici E.901 dari terong 1; P. Capsici E.901 dari terong 2; T. harzianum DT038; T. pseudokoningii DT039 dan G. lucidum. Figure 1. PCR amplification of rDNA region using primer pair DTF/Ilyas1R. Lanes 1 & 14 : 1 kb marker plus DNA ladder; Lanes 2 – 13 are P. Palmivora P; P. PalmivoraRCP; P. palmivora
BAC; P. palmivoraBDC1; P. palmivoraBDC2; P. Capsici from pepper 1; P. Capsici from
pepper 2; P. Capsici E.901 from terong 1; P. capsici E.901 from terong 2; T. harzianum
DT038; T. pseudokoningiiDT039 and G. Lucidum respectively.
Tabel 2. Perbedaan sekuen rDNA beberapa spesies Phytophthora dari GenBank untuk analisis primer reverse disesuaikan dengan Clustal-W.
Table 2. Ribosomal DNA (rDNA) sequence variation in Phytophthora species determined
            from GenBank for the analyses of reverse primer based on Clustal-W.
 








Dari hasil amplifikasi daerah ITS rDNA dengan primer ITS4/ITS5 terlihat bahwa isolat T. harzianum DT038 dan T. pseudokoningii DT039 memiliki fragmen berukuran sekitar 800 bp sedangkan pada G. Lucidum berukuran lebih pendek sekitar 700 bp (Gambar -1). Perbedaan ukuran fragmen antara Phytophthora spp., Trichoderma spp. dan Ganoderma -
sp. disebabkan oleh adanya variasi panjang pendeknya daerah ITS pada masing-masing rDNA cendawan. Daerah ITS sebagai daerah yang tingkat konservasinya rendah sedangkan daerah sub unit kecil 18S, 5.8S, sub unit besar 28S dan 5S diketahui sebagai daerah yang sangat konservatif pada rDNA yang mempunyai sekuen hampir pasti sama di antara organisme (Darmono, 2001; White et al., 1990). Variasi yang signifikan dapat terjadi karena adanya delesi, insersi atau substitusi antara spesies dalam daerah ITS terutama pada ITS1, namun demikian beberapa daerah yang konservasinya tinggi terdapat pula pada sekuen ITS1 dan ITS2 rDNA. Umumnya bagian ujung 5′′′′dan 3′′′′pada sekuen ITS1 dan ITS2 adalah daerah yang konservasinya tinggi pada semua spesies Phytophthora dengan variasi sangat sedikit terbatas hanya perubahan beberapa basa (Appiah et al., 2004). Demikian pula daerah ITS dan Intergenic Sequence (IGS) pada unit pengulangan rDNA berkembang paling cepat
dan memungkinkan terjadinya variasi di antara spesies dan populasi (White et al., 1990).




 









Gambar 2. Amplifikasi dengan PCR pada rDNA menggunakan pasangan primer  
DTF/Ilyas1R. Lajur 1-16 berturut-turut adalah: marker 1 Kb plus DNA ladder; P. palmivora
P1; P. Palmivora, P2; P. palmivoraBAC; P. palmivoraBCC; P. palmivoraBDC1, P. Palmivora
BDC2; P. palmivoraRAP; P. palmivoraRCP; P. Capsici dari lada 1; P. Capsici dari lada 2;
P. capsiciE.901 dari terong 1; P. Capsici E.901 dari terong 2; T. harzianum DT038; T. pseudokoningii DT039 dan G. lucidum.
Figure 2. PCR amplification of rDNA region using primer pair DTF/Ilyas1R. Lanes 1-16 are:
            marker 1 Kb plus DNA ladder; P. Palmivora P1; P. Palmivora P2; P. PalmivoraBAC; P. –palmivoraBCC; P. palmivoraBDC1; P. palmivoraBDC2; P. palmivoraRAP; P. Palmivora-
RCP; P. Capsici from pepper 1; P. Capsici from pepper 2; P. Capsici E.901 from terong 1;
P. capsici E.901 from terong 2; T. harzianumDT038; T. pseudokoningiiDT039 and G. lucidum, respectively.
Gambar 2 memperlihatkan bahwa pasangan primer DTF/Ilyas1R hanya mampu mengamplifikasi isolat P. palmivora dari kakao baik yang berasal dari busuk buah maupun kanker batang (lajur 2-9) berukuran sekitar 650 bp. Sesuai pula perhitungan jumlah basa di antara primer DTF/Ilyas1R pada sekuen rDNA berjumlah sekitar 640bp, berarti sama dengan
perkiraan ukuran fragmen hasil elektroforesis (Gambar 2). Isolat P. capsici, T. harzianum -
DT038, T. pseudokoningii DT039 dan G. lucidum(lajur 10-16) tidak teramplifikasi. Primer DTF/Ilyas1R dirancang untuk mengamplifikasi sebagian daerah ITS1 dan ITS2 serta keseluruhan sub unit 5.8S rDNA P. palmivora. Primer ini diturunkan dari sekuen yang tingkat
perbedaan basanya tinggi antara isolat P. Palmivora dengan sekuen Phytophthora lainnya yang diambil dari GenBank.























BAB III
CARA PENYEBARAN  PHYTOPHTHORA PALMIVORA
Penyebaran penyakit P. palmivora dapat melalui air, semut, tikus, tupai, bekicot yang dijumpai di perkebunan kakao. Selama daur hidupnya, P. palmivora menghasilkan beberapa inokulum yang berperan dalam perkembangan penyakit pada kakao, yaitu miselium, sporangium, oospora, dan klamidospora. Sporangium  berkecambah secara langsung dengan membentuk pembuluh kecambah, dan tidak langsung dengan membentuk zoospora (Semangun, 2000). Menurut Erwin dan Ribeiro (1996) Phytophthora memiliki miselium coenocytic tanpa atau sedikit sekat dan di dalam air dapat menghasilkan zoosporangia. Oospora seksual terbentuk  secara tunggal dalam oogonium setelah pembuahan oleh inti dari antheridium tersebut. Dinding sel mengandung selulosa mikrofibril dan B-1,3-glukan.
Morfologi P. palmivora yaitu sporangium ovoid dan ellipsoid mempunyai papila yang jelas (Drenth dan Sendall, 2001). Sporangium mempunyai panjang 35-40 μm dan lebar 23-28 μm, nisbah panjang/lebar 1,4-1,6, ukuran ini bervariasi sesuai dengan medium, inang, umur biakan, lengas dan cahaya. Panjang pedikel 2-10 μm. Umumnya di alam sporangium menghasilkan 15-30 spora kembara. Sporangium dapat pula menjadi sporangium sekunder atau konidium (Waterhouse, 1974).
Bentuk klamidospora P. palmivora dapat bertahan dalam tanah kurang dari 10 bulan (ICCO, 2012). Selain itu, berupa miselium pada bantalan bunga, buah muda (cherelle), batang pohon kakao, dan sisa-sisa tanaman yang Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl.) (RUBIYO et al.)
 

tersebar di tanah, yang kemudian dapat menjadi sumber inokulum BBK. Sumber inokulum tersebut memiliki peranan yang berbeda, tergantung pada lingkungan maupun iklim setempat. Umumnya tanah dan akar berperan sebagai sumber inokulum primer yang memberikan inokulum infektif pada awal musim hujan untuk dimulainya epidemi busuk buah, sedangkan buah dan bagian kanopi yang sakit berperan sebagai sumber inokulum sekunder dan berhubungan langsung dengan kehilangan hasil (Pereira, 1995).
Epidemi penyakit BBK terjadi akibat penyebaran inokulum P. palmivora secara vertikal (dalam satu pohon) dan horizontal (antar pohon). Penyebaran vertikal terjadi akibat kontak langsung antara buah sakit dan buah sehat, penyebaran inokulum oleh tetesan air hujan dari buah sakit ke buah sehat di bawahnya, bantuan serangga vektor, dan percikan air hujan dari tanah kebuah di sekitar pangkal batang. Penyebaran horizontal dapat terjadi dengan bantuan serangga, kontak antar pohon dan angin (Muller, 1974). Penyebaran horizontal terjadi lebih lambat daripada penyebaran vertikal.
Penyakit busuk buah sukar dikendalikan karena epidemi penyakit ini kompleks dan belum dapat diungkapkan secara tuntas. Pembuangan sumber inokulum primer yang terdapat di pohon (buah sakit dan kanker batang) maupun di tanah (serasah dan kulit buah) tidak menyebabkan penundaan terjadinya epidemi pada musim hujan. Hal ini menunjukkan adanya sumber inokulum lain yang memperbesar inokulum primer (Dennis dan Konam, 1994).
Thorold (1975) menjelaskan bahwa perkembangan busuk buah dipengaruhi oleh kelembaban udara, yaitu 80-95% selama 2-4 jam yang mendukung infeksi spora kembara P. palmivora. Pada kondisi lembab, P. palmivora dapat menghasilkan sampai 4 juta sporangia yang disebarkan melalui hujan, semut, serangga, tikus, kelelawar maupun peralatan pemangkasan yang terkontaminasi (ICCO, 2012). Disamping itu, busuk buah juga berhubungan langsung dengan jumlah buah di pohon dan curah hujan, namun jumlah buah berbanding terbalik dengan curah hujan sehingga ada interaksi antara curah hujan, keragaan (performance) tanaman dan penyakit (Thorold, 1975). Hasil penelitian Rubiyo et al. (2008a) dengan menguji isolat P. palmivora dari berbagai daerah sentra kakao di Indonesia dengan membasahi buah kakao dan daun kakao spora mampu menginfeksi, umumnya memberikan tingkat patogenisitas yang tinggi terhadap tanaman kakao di buah maupun di bibit.
Menurut Purwantara (1990) kebasahan permukaan buah dan kelembaban udara berperan langsung terhadap infeksi P. palmivora pada buah kakao. Dalam hal ini peranan curah hujan terjadi secara tidak langsung melalui terjadinya kebasahan permukaan buah dan meningkatnya kelembaban udara. Demikian juga pengaruh suhu terhadap perkembangan infeksi terjadi secara tidak langsung, melalui pengaruhnya terhadap kelembaban udara dan kebasahan buah.
TEKNIK PENGENDALIAN
Penyakit P. palmivora ini dapat dikendalikan dengan memadukan berbagai teknik pengendalian seperti varietas tahan, kultur teknis, secara mekanis dan secara kimiawi (Anonim 2008).
1.        Varietas resisten
Menanam klon-klon yang relatif resisten terhadap penyakit busuk buah P. palmivora yaitu DRC 16, Sca 6, Sca 12 dan ICS 6. (sukamto dan mawardani, 1986 dalam wardojo, 1992).
2.        Kultur Teknis
ü  Mengatur kelembaban kebun agar tidak terlalu tinggi, dengan cara mengatur naungan dan pemangkasan tanaman kakao.
ü  Drainase kebun, diperbaiki agar perkembangan penyakit terhambat.
3.        Mekanis
Buah-buah yang busuk di pohon diambil dan dikumpulkan, kemudian dipendam sedalam kurang lebih 30 cm dari permukaan tanah. Hal ini dapat menekan sumber infeksi serendah mungkin sehingga terhambat terjadinya infeksi baru.
4.         Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan menyemprotkan fungisida. Fungisida yang dapat digunakan adalah fugisida tembaga 0,3 %, dengan interval dua minggu, dan fungisida maneb 0,2 % dengan interval 1 – 2 minggu. Penyemprotan dengan menggunakan knapsack sprayer dengan volume semprot 500 1/hari dan dilakukan pada saat buah sebagian besar telah berumur tiga bulan atau panjang buah sekitar 12 cm.
5.        Pestisida
Fungisida - fungisida yang banyak digunakan untuk P. palmivora diantaranya Dithane M-45 atau Manzate 6 masing-masing 800 gr dan 400 gram per ha, Ridomil (0,75 kg) dicampur dengan Cuprox (2,24 gr) per 100 liter air untuk tiap Ha, fungisida Metallic Copper 2,4 kg per ha (Siregar et al., 2002). Fungisida berbahan aktif tembaga (Copper Sandoz, Nordox, Cupravit, Vitigran Blue) dengan konsentrasi 0,3 persen, interval waktu 2 minggu (Anonim, 2004). Waro (1997), mengemukakan bahwa fungisida yang banyak digunakan diantaranya adalah jenis Fosetil-Al dan Ridomil 250 EC (Metalaxil) dan Kocide 101 menghasilkan produksi yang baik dan tahan terhadap P. palmivora.
6.        Pengendalian Secara Biologi
Dengan menggunakan agen hayati dari kelompok jamur yang memiliki beberapa keunggulan sesuai program pengendalian yang ramah lingkungan antara lain mudah didapat karena tersedia di alam, dapat diperbannyak secara sederhana dan efekktif, jamur yang berpotensi untuk mengendalikan secara prefentif yaitu jamur ;
a.       Trichoderma harzianum
b.       Trichoderma viren





















BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa intensitas serangan  P. palmivora pada tanaman kakao di Kecamatan Ranah Batahan pada kakaoCriollo mencapai 28,70% dengan kehilangan hasil 52,33% dan pada kakao Forastero intensitas serangan mencapai 35,54% dengan kehilangan hasil 46,99%.
Primer ITS4/ITS5 dapat mengamplifikasi semua isolat sampel dengan ukuran fragmen yang berbeda. Isolat P. Palmivora dan P. Capsici memiliki ukuran fragmen sama yang diperkirakan 900 bp. Sedangkan isolat T. harzianum DT038 dan T. pseudokoningii DT039 berukuran sekitar 800 bp. G. Lucidum berukuran lebih pendek sekitar 700 bp. Hasil rancangan primer pada daerah ITS rDNA P. Palmivora diperoleh pasangan primer forward
(DTF) 5′CTT AGT TGG GGG TCT CTT TC-3′ dan reverse (Ilyas1R) 5′GTT CAC CAA TCA TAC CAC C-3′. Pasangan primer DTF/Ilyas1R hanya mampu mengamplifikasi isolat
P. palmivora yang berasal dari busuk buah maupun kanker batang kakao menghasilkan fragmen dengan ukuran panjang sekitar 650 bp. Dengan demikian pasangan primer DTF/Ilyas1R dapat digunakan untuk mendeteksi P. palmivora pada kakao menggantikan primer umum yang dipakai selama ini.
B. Saran
1.      Petani dianjurkan untuk menanam kakao jenis Forastero karena kakao Forastero memiliki tingkat produksi yang lebih tinggi dan lebih toleranterhadap infeksi jamur P. palmivora.
2.    Perlu adanya peningkatan dan perbaikan cara budidaya kakao bagi petani agar penyakit busuk buah dan kehilangan hasil bisa ditekan dan diharapkan untuk melakukan penelitian selanjutnya terhadap beberapa klon kakao dari jenis Criollo maupun Forastero yang mempunyai tingkat ketahanan lebih tinggi untuk mendapatkan bibit unggul yang resisten terhadap serangan P. palmivora.






DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Hama dan Penyakit Tumbuhan. http://en.fokus.com/d/hama-dan-penyakit-pada-tanaman.htm. diaskes pada tanggal 04 Mei 2011.
Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan (Terjemahan Munzir Busnia). Gadjah Mada University Press.
Chee SS, Zawiah H, Ismail MN, Ng KK. Antropometry, dietary patterns and nutrient intakes of Malaysian estate workers. Mal J Nutr 1996
Cook, R. J. and K. F. baker. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of plant pathogens. The American Phytopathological society. St. paul, Minnesota. 539 hal.
Evan, H.C. & C. Priori (1987). Cocoa Pod Diseases. Causal Agents and Control. Outlock on Agricul., 16,35-41.
Semangun, H. 1996. Ilmu Penykit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan Penting di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 529 – 535.
Wardojo, S. 1992. Major pest and diseases managemen in southeast Asia and Australia.FAO of the United Natios. Roma. (112) 63-67.
Appiah, A.A., J. Flood, S.A. Archer & P.D. Bridge (2004). Molecular analysis of the major
                        Phytophthoraspecies on cocoa. Plant Pathol., 53, 209-219.
Chowdappa, P., D. Brayford, J. Smith, J. Flood (2003). Molecular discrimination of
Phytophthora  isolat on cocoa and their relationship with coconut, black pepper and bell pepper isolates based on rDNA  repeat and AFLP fingerprints. Curr Sci.,84(9), 1235-1238.
Cooke, D.E.L., A. Drenth, J.M. Duncan, G. Wagels, & C.M. Brasier (2000). A molecular
phylogeny of  Phytophthora and related Oomycetes. Fungal Genet. Biol.,30, 17-32.
Darmono, T.W. (2001).Development of  molecular and serological technique for the etection
of fungal pathogens in woody plants. Training Course on Early Detection of Woody Plant Diseases with Latent Infection. Bogor, 20 February - 2 March 2001. Bogor: SEAMEO-BIOTROP.
Darmono, T.W. & A. Purwantara (2001). Practical work on detection of Phytophthora.
Training Course on Early Detection of Woody Plant Diseases with Latent Infection. Bogor, Indonesia: Biotechnology Research Unit for Estate Crops.
Edel, V. (1998). Polymerase chain reaction in mycology: an overview. In:Bridge PD et al.
(editor). Applications of PCR in Mycology.United Kingdom: CAB Intenational. p. 1-20.
Erwin, D.C. & O.K. Ribeiro (1996). Phytophthora Disease Worldwide. St. Paul, Minnesota:
                        APS Pr.
Evan, H.C. & C. Priori (1987). Cocoa pod diseases. Causal agents and control. Outlock on
                        Agricul., 16,35-41.
Förster, H., M.P. Cummings & M.D. Coffey (2000). Phylogenetic relationship of
Phytophthora  species based on ribosomal  ITS1 DNA sequence analysis with emphasis on waterhouse groups V and VI. Mycol. Res.,104(9), 1055-1061.
Orosco-Castillo, C., K.J. Chalmers, R. Waugh, & W. Powell (1994). Detection of genetic
diversity and selective gene in coffea using RAPD markers. Theor. Appl. Genet.,87,332-339.
Pawirosoemardjo, S. & A. Purwantara (1992). Laju infeksi dan intensitas serangan
Phytophthora palmivora pada buah kakao dan batang pada beberapa varietas kakao. Menara Perkebunan,60 (2),67-72.
Ningsih, L.O. 2011. Identifikasi Beberapa Penyakit Pada Tanaman Kakao (Theobroma –
cacao.L) di Desa Bayur Kecamatan Samarinda Utara.Bioprospek Vol. 8 No. 11: September 2011.
Nurmansyah. 2010. Efektifitas Minyak Seraiwangi dan Fraksi Sitronellal terhadap
Pertumbuhan Jamur P.palmivora Penyebab Penyakit Busuk Buah Kakao. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Solok. Bul.Littro.
Vol.21. No.1:Hal. 43-53.
Ramlan. 2010. Pengelolaan Penyakit Busuk Buah Kakao .Prosiding Seminar Ilmiah dan
Pertemuan Tahunan PBJ dan PFJ XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan: 380-387 hlm.
Rivai, F .2006. Kehilangan Hasil Akibat Penyakit Tanaman. Andalas University Press: UNAND. 281 hlm.


Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com